Rabu, 30 November 2011

Kisah Anggota Dewan PKS, Naik Ojek Ke Gedung DPR

WAKTU baru menunjukkan pukul 05.30 WIB. Anggota DPR Aus Hidayat Nur meninggalkan rumahnya di Jalan Kelapa Dua Raya RTM Cimanggis, Depok dengan membonceng sepeda motor. Salah satu anaknya yang mengendarai kendaraan roda dua itu.

Tujuan mereka adalah Stasiun Universitas Indonesia (UI). Perjalanan tak sampai 30 menit. Tiba di stasiun, politisi PKS ini segera membeli tiket KRL Eksekutif tujuan Stasiun Tanah-abang seharga Rp 5.500.

Pukul 06.15 WIB kereta yang ditunggu-tunggu datang. Pria ini langsung naik gerbong yang lumayan sejuk dan membuat mata ingin terperam.

Perjalanan ke Stasiun Tanah-abang memakan waktu sekitar 45 menit. Sekitar pukul 7, Aus sudah di berada di depan stasiun dan memanggil ojek. "Hampir setiap hari saya naik KRL agar lebih cepat sampai kantor," kata Aus Hidayat Nur.

Aus kembali naik ke boncengan motor untuk sampai ke kantornya di gedung DPR. Ongkos ojek Rp 20 ribu. "Sebetulnya harga normalnya Rp 10 ribu. Ya lumayan lah bisa sekalian membantu orang," kata pria yangdipercaya duduk di Komisi II DPR ini.

Setelah sampai di gedung DPR, pria ini mengikuti rapat internal Fraksi PKS yang digelar mulai pukul 7 sampai 10 pagi. Setelan itu. Aus sibuk dengan kegiatan di Komisi II DPR yang membidangi Pemerintahan Dalam Negeri dan Otonomi Daerah, Aparatur Negara, Agraria dan Komisi Pemilihan Umum.

Aus mengatakan lebih sering ke DPR naik kereta. Tapi, bila kegiatan di parlemen sedang tak padat, ia datang menggunakan kendaraan pribadi, Proton Exora.

Mobil produksi Malaysia itu, menurut dia, dibeli secara kredit. Uang mukanya Rp 80 juta dengan tempo cicilan empat tahun. Setiap bulan. Aus membayar cicilan Rp 3,9 juta. Saat ini sudah masuk bulan kesepuluh. "Mobil itu lebih murah dari Toyota Innova," kata Aus.

Sebelum memiliki mobil sendiri. Aus beberapa datang ke DPR menggunakan Daihatsu Terrios. Menurut dia, mobil itu adalah kendaraan operasional DPP PKS. Ia bisa menggunakan kendaraan itu karena menjabat Ketua Pembinaan Wilayah Dakwah. Kini, mobil itu diguna-kan oleh istrinya. Susanti karena dia aktif menjadi pengurus di DPP PKS.

Pria yang dikaruniai enam orang anak ini mengatakan tak ingin bermewah-mewahan sebagai anggota DPR. Menurut dia, jabatan anggota legislatif itu tidak selamanya, hanya lima tahun.

Gaya hidup mewah, bagi Aus, akan membawa dampak buruk bila nanti sudah tak lagi menjadi anggota Dewan. "Bisa-bisa ter-kena post power syndrome," canda Aus.

Sebagai anggota Dewan, Aus memiliki kewajiban untuk melaporkan kekayaannya ke KPK. Ia menyebutkan kekayaannya berjumlah Rp 500 juta. Meliputi sebuah rumah dan sebuah mobil.

Aus mengatakan penghasilan sebagai anggota DPR lebih banyak disumbangkan ke partai. Setiap bulan hampir sepertiga gajinya diberikan kepada partai dan fraksi. Namun ia enggan mengungkapkan besarannya. "Wah nggak enak kalau disebutin angkanya. Yang penting lumayanlah," kata Aus.

Setiap bulan, anggota DPR memperoleh gaji Rp 64,8 juta. Jadi besarnya iuran yang dikeluarkan Aus untuk partai dan fraksi sekitar Rp 20 juta.

Aus tak mempersoalkan sepertiga gajinya harus diserahkan ke partai. Sebab, dia merasa tak perlu mengeluarkan uang banyak saat menjadi calon legislatif (caleg). Saat itu, dia justru banyak menerima sumbangan dari kader-kader di bawah.

"Karena sekarang sudah jadi anggota DPR, maka harus membantu kader yang ada di bawah. Jadi saling gantian bantulah," katanya.

Sebelum menjadi anggota Dewan, Aus menjalankan bisnis multi level marketing (MLM). Usaha dijalaninya sejak 2003. Penghasilannya sudah mencapai Rp 20 juta setiap bulan.

Namun sejak duduk di DPR penghasilannya turun. Sebab waktunya banyak tersita untuk kegiatan-kegiatan di Senayan. Akibatnya, dia tak bisa mengembangkan bisnisnya itu.

Kegiatan di Komisi II memang cukup padat. Tapi, Aus bersyukur ditempatkan di komisi ini karena tak banyak godaannya.

"Ada ungkapan bahwa Komisi II merupakan komisi air mata," ujar Aus bercanda.

Walaupun kegiatannya di Senayan sering sampai malam. Aus selalu menyempatkan untuk pulang ke rumah dan bertemu keluarga. Bila sudah tidak ada acara di DPR, Aus pulang setelah shalat Maghrib.

Dari DPR dia naik ojek menuju halte busway Ratu Plaza. Perjalanan selanjutnya ditempuh dengan bus Transjakarta menuju terminal Blok M. Dari sini, dia menumpang Metro Mini ke Pasar Minggu.

Dari terminal Pasar Minggu dilanjutkan naik ojek menuju rumahnya Cimanggis, Depok. "Paling telat sampai rumah jam setengah sembilan malam. Kalau malam kan lancar, jadi bisa cepat sampai rumah," katanya.

Ketika naik kendaraan umum. Aus menyembunyikan jas yang menjadi pakaian sehari-hari anggota DPR ke dalam tas. Ia hanya mengenakan kemeja lengan pendek, celana bahan dan sepatu kerja.

"Orang-orang yang naik Metro Mini bareng saya tidak ada yangtahu kalau saya anggota DPR. Apalagi saya tidak terkenal. Jadi saya tenang saja," ujar Aus sambil terkekeh-kekeh.

Pergi naik kereta dan pulang naik bus ini merupakan aktivitas

Aus selama DPR dalam masa sidang. Ketika masa reses, seperti anggota Dewan lainnya, Aus berkunjung ke daerah pemilihannya untuk bertemu konstituen. Aus menjadi anggota DPR daridaerah pemilihan Kalimantan Timur.

"Saya baru aktif lagi di DPR setelah reses," katanya. Rencananya, DPR kembali bersidang pada 9 Januari mendatang.

[Nasional Rakyat Merdeka]

Senin, 01 Agustus 2011

Bersihkan Hati dari Cinta Duniawi


Semakin memegang kuat kepada duniawi, semakin sakit saat diambil. Semakin perih oleh luka kehilangan.
Dan aku, malah makin menggenggam dunia dengan kedua tanganku. Menjaganya dengan penuh perhatian. Pandangan pun selalu tertuju padanya. Mencintai dunia. Sehingga tertutup cinta lainnya. Karena hati ini penuh dengan cinta fana. Bahkan sesungguhnya cinta yang menghancurkan.
Dan tahukah, sudah seperti ini pun, aku tak sadar. Malah kufur. Masih ingin lain lagi. Susah karena belum dapat ingin-ingin itu. Mengeluhkan segala kekurangan. Membanding-bandingkan lagi. Semuanya jadi terasa sempit.
Maka sadarlah diriku ketika membaca surat Ar-Rahman. Terutama ayat yang berulang-ulang tertulis, Fabiayyi Aaalaaaa ‘irobbikumaa tukaddzibaan... Terus pula ku ulang membacanya. Terasa kian dalam makna kalimatnya. Seolah Allah tengah bertanya padaku, “Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?” Tentu jika ditanya seperti itu, aku merasa sangat malu dan buruk, betapa dustanya diriku.
Karena tak bersyukur juga dengan segala nikmat yang diberikan Allah. Buktinya aku masih juga memenuhi keinginanku. Terfokus pada usaha memenuhi ingin itu. Apalagi kalau bukan karena nafsu. Birahi. Keburukan diri yang terus dituruti. Ampun Ya Allah...
Aku tak mau dikendalikan oleh duniawi. Bernafsu untuk mendapatkan dan memegang erat, Bukan karena takut sakit ketika kehilangan. Namun karena aku tak mau cintaMu tak dapat kurasa ketika hatiku terisi banyak oleh cinta dunia.
Tak mau cintaku kepadaMu terdesak dan terhimpit. Tak ingin hatiku sempit oleh cinta celaka itu. Lagipula, cinta itu hanya melelahkan aku, menyusahkan aku, melalaikanku. Aku kelelahan.
Kemudian aku tak mau menjadi orang yang selalu mendustakan nikmat Allah. Menjadi orang kufur. Karena itu akan menjauhkan aku dari Allah. Mengurangi cinta Allah padaku. Aku tak mau. Sungguh tak ingin. Aku jadi merenung, kenapa Allah terus ulang ayat itu. Merenungkan diri sendiri yang selalu tak bersyukur.
Padahal, aku adalah orang beruntung. Karena aku seorang muslim. Seorang yang beriman. Qod aflakhal mu'minuuun (sungguh beruntung orang-orang yang beriman, Al-Mu'minun :1) . Sehat, normal, cukup hingga melimpah, terkabulkan, baik, harmonis, bahagia. Dan ratusan nikmat lain, bahkan lebih, yang tak kusebutkan atau tak kusadari. Tetapi apa, aku masih juga ingkar, dusta. Astagfirullah...
Aku terlalu maruk. Jadi sadar pula ketika membaca postingan di milis. Sesuka-sukamu. Sesukamu saja kau mau berbuat apa di dunia ini, mendapat apa pun, menginginkan apa pun, mencintai apa pun, karena kelak kau akan mati, dunia akan binasa. Oh... seolah memanah dan tepat sasaran pada hatiku. Bangunkan aku yang tengah mabuk oleh dunia.
Terlalu banyak memakan nafsuku sendiri. Aku harus segera sadar sebelum aku terluka oleh panah itu. Sebelum Allah bangunkan aku lebih keras lagi karena aku begitu terlelap terlena. Tak mau lagi menjadi orang rugi dan hina.
Maka aku harus sadar, bangun dan bangkit. Tinggalkan keburukan diri. Lepaskan hati dan diri dari nafsu dunia. Sebelum semua itu menghancurkan hidupku. Juga sebelum aku tak bisa lagi sadar atau bangun, Sebelum semua terlambat.
Jadi, renungkan, tafakuri serta muhasabahi hati dan perbuatanku selama ini. Kembali bersihkan hati. Jaga diri. Maha kasih Allah yang selalu sadarkan hambaNya...
Katakanlah, "Jika bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, istri-istrimu, keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perdagangan yang kamu khawatirkan kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, lebih kamu cintai daripada Allah dan RasulNya serta berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah memberikan keputusan-Nya." Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik. (At-Taubah : 24)
Mari bersama-sama kembali kepada cinta Allah di bulan penuh rahmat dan ampunan Allah ini. Bersihkan hati dari cinta dunia yang berlebih. Beningkan hati dengan dzikrullah... Subhanallahu walhamdulillah wa laailaah haillah allahuakbar...
Selasa, 02/08/2011 05:52 WIB 
Oleh Najmi Haniva

PAWAI RAMDHAN 1432 H (PEMBAGIAN DOORPRIZE)

















Allah Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ [البقرة/183]
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa. (QS Al-Baqarah: 183).
Imam Ibnu Katsir menjelaskan, Allah berfirman yang ditujukan kepada orang-orang yang beriman dari umat ini, seraya menyuruh mereka agar berpuasa. Yaitu menahan dari makan, minum dan bersenggama dengan niat ikhlas karena Allah Ta'ala. Karena di dalamnya terdapat penyucian dan pembersihan jiwa. Juga menjernihkannya dari pikiran-pikiran yang buruk dan akhlak yang rendah.
Allah menyebutkan, di samping mewajibkan atas umat ini, hal yang sama juga telah diwajibkan atas orang-orang terdahulu sebelum mereka. Dari sanalah mereka mendapat teladan. Maka hendaknya mereka berusaha menjalankan kewajiban ini secara lebih sempurna dibanding dengan apa yang telah mereka kerjakan.(Tafsir Ibnu Katsir 1/313).
Imam As-sa’di dalam tafsirnya menjelaskan, lafal { لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ } agar kamu bertaqwa, karena puasa itu merupakan satu penyebab terbesar untuk taqwa. Karena shiyam itu melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Di antara cakupan taqwa adalah bahwa shiyam itu meninggalkan apa-apa yang diharamkan Allah berupa makan, minum, jima’ (bersetubuh) dan semacamnya yang nafsu manusia cenderung kepadanya. Itu semua untuk mendekatkan diri kepada Allah, dengan meninggalkan hal-hal (yang biasanya dibolehkan itu) adalah dengan mengharap pahala-Nya. Itulah di antara amalan taqwa.
Dan di antaranya bahwa orang yang shiyam itu melatih diri untuk menyadari pengawasan Allah Ta’ala, maka ia meninggalkan apa yang dicenderungi nafsunya pada masa dirinya mampu melakukannya (melanggarnya), (namun hal itu tidak dilakukannya) karena kesadarannya terhadap pengawasan Allah atasnya. Dan di antaranya, bahwa shiyam itu mempersempit laju peredaran syetan, karena syetan beredar pada anak Adam (manusia) dalam aliran darah, maka dengan shiyam itu melemahkan operasinya dan mengurangi kemaksiatan. Diantaranya pula bahwa orang yang shiyam pada umumnya banyak taatnya, sedang taat itu adalah bagian dari taqwa. Dan diantaranya bahwa orang kaya apabila dia merasakan perihnya lapar maka mendorong dirinya untuk menolong orang-orang fakir lagi papa, dan ini termasuk bagian dari taqwa. (Tafsir as-Sa’di, juz 1 halaman 86).

Rabu, 02 Maret 2011

Pemimpin yang Tegas dan Bijaksana






Oleh KH Didin Hafidhuddin*

Sungguh sangat memprihatinkan apabila kita melihat perkembangan kondisi bangsa akhir-akhir ini, di mana sejumlah persoalan besar masih belum dapat diselesaikan secara tuntas, tepat, dan sesuai dengan ketentuan hukum dan nilai-nilai yang berlaku di negara kita.

Kasus Ahmadiyah sebagai contoh, hingga saat ini, masih menjadi duri dalam daging sehingga selalu menimbulkan gejolak horizontal di tengah-tengah masyarakat. Padahal, akar permasalahan Ahmadiyah ini sangat sederhana, yaitu adanya penodaan terhadap hal-hal yang sangat prinsip dalam ajaran Islam. Inilah yang kemudian mengundang lahirnya fatwa MUI yang menetapkan Ahmadiyah sebagai aliran sesat. Jadi, inti persoalannya bukan pada masalah toleransi, hak asasi manusia, dan kekerasan atas nama agama, melainkan pada tidak tuntasnya penyelesaian atas penodaan agama.

Jika saja Ahmadiyah ini segera dibubarkan ataupun dijadikan sebagai agama baru yang diakui secara resmi oleh negara, konflik antarmasyarakat yang sempat memakan korban jiwa tersebut dapat diminimalisasi. Apalagi, keberadaan Ahmadiyah di berbagai negara Muslim pun telah dinyatakan sesat dan keluar dari agama Islam. Di Pakistan, misalnya, Ahmadiyah telah diklasifikasikan ke dalam kelompok minoritas, bukan Islam. Demikian pula di Timteng dan Malaysia. Bahkan, Rabithah `Alam Islamy pun telah mengeluarkan fatwa tentang kesesatan Ahmadiyah sehingga mereka dilarang untuk menunaikan ibadah haji.

Begitu pula halnya dengan kasus-kasus besar lain seperti skandal Bank Century, kasus Bibit-Chandra, Gayus, dan mafia pajak serta megakorupsi lainnya. Semuanya seakan-akan dibiarkan mengambang dan tidak jelas penyelesaiannya. Padahal, masalah-masalah tersebut telah menguras energi bangsa ini. Seharusnya energi bangsa ini diarahkan pada upaya peningkatan kualitas pembangunan nasional.

Jika saja negara mengambil sikap tegas laiknya Rasulullah SAW yang memerintahkan penegakan hukum atas pelaku korupsi yang berasal dari kalangan elite (wanita Bani Makhzumiyyah), tingkat kejahatan korupsi dan penyalahgunaan wewenang dapat direduksi sehingga tidak lagi menjadi beban sosial masyarakat.

Dengan kompleksitas problematika bangsa saat ini, ada baiknya kita becermin dari pola kepemimpinan Abu Bakar RA dan Umar bin Khattab RA, sahabat Rasul yang paling utama. Abu Bakar adalah khalifah pertama yang tampil di masa transisi pascawafatnya Nabi SAW, dan yang menghadapi sejumlah persoalan kenegaraan dan keumatan yang berat, terutama gerakan penyimpangan dari ajaran agama. Sedangkan, Umar adalah figur pemimpin pelanjut perjuangan Abu Bakar, yang mampu mentransformasi Madinah menjadi kekuatan yang disegani dunia.

Kebijakan Abu Bakar

Ketika memegang tampuk kepemimpinan negara, Abu Bakar menghadapi gerakan penodaan agama yang melanda sejumlah suku di sekitar Madinah. Gerakan tersebut dipelopori oleh sejumlah orang yang mendeklarasikan diri menjadi nabi palsu, seperti Thulaihah bin Khuwailid, yang mengaku Nabi pada 10 H (tahun terakhir kehidupan Rasulullah SAW), meski pada akhirnya Thulaihah bertobat dan mati syahid di ujung kehidupannya. Di antara isu yang diusung oleh gerakan sesat tersebut adalah usaha untuk memisahkan antara kewajiban shalat dan zakat, yang memengaruhi sebagian kelompok kaya yang lemah imannya pada saat itu.

Bagi Abu Bakar, gerakan tersebut kalau dibiarkan akan mengakibatkan rusaknya struktur ajaran Islam. Sehingga, ia memutuskan untuk memerangi kelompok tersebut dengan mengirimkan ekspedisi pasukan ke sejumlah wilayah yang dianggap telah menistakan agama.

Sebagaimana yang dikisahkan oleh Abu Hurairah, sebagian sahabat awalnya ragu dengan keputusan yang diambil Abu Bakar. Dengan ketegasan itu, para sahabat pun mendukungnya sepenuh hati. Menurut Abu Hurairah, jika saja Abu Bakar tidak mengambil tindakan tegas, gerakan sesat yang berubah menjadi makar itu berpotensi memecah belah dan mengancam keutuhan negara.

Meski usia kepemimpinannya sangat pendek--hanya dua tahun, Abu Bakar mampu mengokohkan fondasi negara sepeninggal Nabi SAW. Kelembutan dan ketegasannya terbukti mampu menyelamatkan negara dari kemungkinan terjadinya huru-hara dan disintegrasi sosial yang berkepanjangan.

Kebijakan Umar

Sepeninggal Abu Bakar, Umar tampil memegang tampuk kekhalifahan yang merupakan struktur kekuasaan tertinggi umat Islam pada saat itu. Umar pun menghadapi sejumlah persoalan besar, terutama krisis ekonomi yang menyerang Jazirah Arab hingga ke Syam. Sebuah peristiwa yang dikenal dengan istilah Tahun Ramadah. Kemudian, ia pun menghadapi tindakan sekelompok pebisnis elite yang berusaha mengeruk keuntungan pribadi dengan jalan melanggar hukum dan melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan syariat Islam.

Contohnya, ketika terjadi krisis susu di Madinah, sebagian pedagang susu berusaha menaikkan harga dengan jalan ihtikar (penimbunan). Kalaupun harga tidak naik, susu yang ada dicampur dengan air sehingga kualitasnya mengalami penurunan.

Mengetahui adanya pelanggaran hukum tersebut, Umar pun memerintahkan aparat pemerintahannya untuk melakukan inspeksi ke pasar dan mengambil tindakan hukum terhadap para pedagang yang terlibat. Bahkan, Umar tidak segan memberhentikan para pejabat apabila mereka terlibat menjadi backing dan melakukan tindakan kolutif. Bagi Umar, mengganti pejabat yang tidak amanah lebih baik daripada membiarkan mereka menggerogoti dan menghancurkan kepentingan negara dan rakyat.

Dengan ketegasan itu, Umar berhasil menstabilkan situasi negara. Kepercayaan terhadap negara dan aparatnya semakin kuat. Rakyat pun melihat dengan mata kepala mereka sendiri, bagaimana keteladanan dan sikap hidup yang ditunjukkan Umar. Bermodalkan kepercayaan dan dukungan rakyat inilah, Umar mampu mengembangkan wilayah kekuasaan Islam hingga Afrika dan Romawi, sehingga Madinah kemudian tumbuh menjadi kekuatan penting dan berpengaruh di percaturan global.

Oleh karena itu, ada baiknya para pemimpin kita belajar dari Abu Bakar dan Umar yang merupakan profil pemimpin yang tegas dan bijaksana. Ketegasan dan kebijaksanaan inilah yang sesungguhnya sangat diperlukan dalam mengatasi berbagai problematika bangsa saat ini. Wallahu a'lam.

*sumber: Republika

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Justin Bieber, Gold Price in India