Senin, 01 Agustus 2011

Bersihkan Hati dari Cinta Duniawi


Semakin memegang kuat kepada duniawi, semakin sakit saat diambil. Semakin perih oleh luka kehilangan.
Dan aku, malah makin menggenggam dunia dengan kedua tanganku. Menjaganya dengan penuh perhatian. Pandangan pun selalu tertuju padanya. Mencintai dunia. Sehingga tertutup cinta lainnya. Karena hati ini penuh dengan cinta fana. Bahkan sesungguhnya cinta yang menghancurkan.
Dan tahukah, sudah seperti ini pun, aku tak sadar. Malah kufur. Masih ingin lain lagi. Susah karena belum dapat ingin-ingin itu. Mengeluhkan segala kekurangan. Membanding-bandingkan lagi. Semuanya jadi terasa sempit.
Maka sadarlah diriku ketika membaca surat Ar-Rahman. Terutama ayat yang berulang-ulang tertulis, Fabiayyi Aaalaaaa ‘irobbikumaa tukaddzibaan... Terus pula ku ulang membacanya. Terasa kian dalam makna kalimatnya. Seolah Allah tengah bertanya padaku, “Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?” Tentu jika ditanya seperti itu, aku merasa sangat malu dan buruk, betapa dustanya diriku.
Karena tak bersyukur juga dengan segala nikmat yang diberikan Allah. Buktinya aku masih juga memenuhi keinginanku. Terfokus pada usaha memenuhi ingin itu. Apalagi kalau bukan karena nafsu. Birahi. Keburukan diri yang terus dituruti. Ampun Ya Allah...
Aku tak mau dikendalikan oleh duniawi. Bernafsu untuk mendapatkan dan memegang erat, Bukan karena takut sakit ketika kehilangan. Namun karena aku tak mau cintaMu tak dapat kurasa ketika hatiku terisi banyak oleh cinta dunia.
Tak mau cintaku kepadaMu terdesak dan terhimpit. Tak ingin hatiku sempit oleh cinta celaka itu. Lagipula, cinta itu hanya melelahkan aku, menyusahkan aku, melalaikanku. Aku kelelahan.
Kemudian aku tak mau menjadi orang yang selalu mendustakan nikmat Allah. Menjadi orang kufur. Karena itu akan menjauhkan aku dari Allah. Mengurangi cinta Allah padaku. Aku tak mau. Sungguh tak ingin. Aku jadi merenung, kenapa Allah terus ulang ayat itu. Merenungkan diri sendiri yang selalu tak bersyukur.
Padahal, aku adalah orang beruntung. Karena aku seorang muslim. Seorang yang beriman. Qod aflakhal mu'minuuun (sungguh beruntung orang-orang yang beriman, Al-Mu'minun :1) . Sehat, normal, cukup hingga melimpah, terkabulkan, baik, harmonis, bahagia. Dan ratusan nikmat lain, bahkan lebih, yang tak kusebutkan atau tak kusadari. Tetapi apa, aku masih juga ingkar, dusta. Astagfirullah...
Aku terlalu maruk. Jadi sadar pula ketika membaca postingan di milis. Sesuka-sukamu. Sesukamu saja kau mau berbuat apa di dunia ini, mendapat apa pun, menginginkan apa pun, mencintai apa pun, karena kelak kau akan mati, dunia akan binasa. Oh... seolah memanah dan tepat sasaran pada hatiku. Bangunkan aku yang tengah mabuk oleh dunia.
Terlalu banyak memakan nafsuku sendiri. Aku harus segera sadar sebelum aku terluka oleh panah itu. Sebelum Allah bangunkan aku lebih keras lagi karena aku begitu terlelap terlena. Tak mau lagi menjadi orang rugi dan hina.
Maka aku harus sadar, bangun dan bangkit. Tinggalkan keburukan diri. Lepaskan hati dan diri dari nafsu dunia. Sebelum semua itu menghancurkan hidupku. Juga sebelum aku tak bisa lagi sadar atau bangun, Sebelum semua terlambat.
Jadi, renungkan, tafakuri serta muhasabahi hati dan perbuatanku selama ini. Kembali bersihkan hati. Jaga diri. Maha kasih Allah yang selalu sadarkan hambaNya...
Katakanlah, "Jika bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, istri-istrimu, keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perdagangan yang kamu khawatirkan kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, lebih kamu cintai daripada Allah dan RasulNya serta berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah memberikan keputusan-Nya." Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik. (At-Taubah : 24)
Mari bersama-sama kembali kepada cinta Allah di bulan penuh rahmat dan ampunan Allah ini. Bersihkan hati dari cinta dunia yang berlebih. Beningkan hati dengan dzikrullah... Subhanallahu walhamdulillah wa laailaah haillah allahuakbar...
Selasa, 02/08/2011 05:52 WIB 
Oleh Najmi Haniva

PAWAI RAMDHAN 1432 H (PEMBAGIAN DOORPRIZE)

















Allah Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ [البقرة/183]
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa. (QS Al-Baqarah: 183).
Imam Ibnu Katsir menjelaskan, Allah berfirman yang ditujukan kepada orang-orang yang beriman dari umat ini, seraya menyuruh mereka agar berpuasa. Yaitu menahan dari makan, minum dan bersenggama dengan niat ikhlas karena Allah Ta'ala. Karena di dalamnya terdapat penyucian dan pembersihan jiwa. Juga menjernihkannya dari pikiran-pikiran yang buruk dan akhlak yang rendah.
Allah menyebutkan, di samping mewajibkan atas umat ini, hal yang sama juga telah diwajibkan atas orang-orang terdahulu sebelum mereka. Dari sanalah mereka mendapat teladan. Maka hendaknya mereka berusaha menjalankan kewajiban ini secara lebih sempurna dibanding dengan apa yang telah mereka kerjakan.(Tafsir Ibnu Katsir 1/313).
Imam As-sa’di dalam tafsirnya menjelaskan, lafal { لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ } agar kamu bertaqwa, karena puasa itu merupakan satu penyebab terbesar untuk taqwa. Karena shiyam itu melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Di antara cakupan taqwa adalah bahwa shiyam itu meninggalkan apa-apa yang diharamkan Allah berupa makan, minum, jima’ (bersetubuh) dan semacamnya yang nafsu manusia cenderung kepadanya. Itu semua untuk mendekatkan diri kepada Allah, dengan meninggalkan hal-hal (yang biasanya dibolehkan itu) adalah dengan mengharap pahala-Nya. Itulah di antara amalan taqwa.
Dan di antaranya bahwa orang yang shiyam itu melatih diri untuk menyadari pengawasan Allah Ta’ala, maka ia meninggalkan apa yang dicenderungi nafsunya pada masa dirinya mampu melakukannya (melanggarnya), (namun hal itu tidak dilakukannya) karena kesadarannya terhadap pengawasan Allah atasnya. Dan di antaranya, bahwa shiyam itu mempersempit laju peredaran syetan, karena syetan beredar pada anak Adam (manusia) dalam aliran darah, maka dengan shiyam itu melemahkan operasinya dan mengurangi kemaksiatan. Diantaranya pula bahwa orang yang shiyam pada umumnya banyak taatnya, sedang taat itu adalah bagian dari taqwa. Dan diantaranya bahwa orang kaya apabila dia merasakan perihnya lapar maka mendorong dirinya untuk menolong orang-orang fakir lagi papa, dan ini termasuk bagian dari taqwa. (Tafsir as-Sa’di, juz 1 halaman 86).
 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Justin Bieber, Gold Price in India